Ngaji; Sarana Membentuk Jati Diri
Ngaji;
Sarana Membentuk
Jati Diri
Sebagai
santri yang telah di ajarkan kiai ketika dalam pondok pesantren kita harus bisa
mengambil hal yang di perintahkan. Sebab keberkahan datang ketika santri
tersebut manut dan tekun. Menjadi pelajaran yang mendasar ketika kita mengaji
banyak wejangan yang di ajarkan kiai.
Diditulah kita diminta untuk memahami dan melaksanaka sesuai apa yang di
ajarkan oleh kiai. Tak ada yang lebih mulia di dunia ini tanpa belajar atau
menuntut ilmu. Tak ada bayi yan begitu lahir bisa berjalan sepenuhnya dalah
proses dari merangkak dan akhirnya bisa berjalan. Begitupun ilmu ketika kita
mengasah dengan keikhlasan maka disitulah pelajaran berharga kita dapatkan.
Terkadang jika kita bisa menilik apa itu hakikat ilmu itu sendiri. Disitulah
sebagai santri harus bisa mengaplikasikan dalam kesehariannya. Sebab disitulah
proses dimulai dan membasmi kebodohan secara perlahan. Santri juga harus bisa
menyibukkan diri dari dan beusaha istighal
(menyibukkan diri) dan tabahhur (melaut,
menenggelamkan diri pada sebuah lautan ilmu
Tradisi
nyantri kini sudah mulai tergerus arus modren. Orang lebih mementingkan gaya
“kekinian” tanpa harus memperhatikan ilmu-ilmu agama secara mendalam. Inilah
hal yang sudah menjadi gersang dalam dunia. Ketika melihat orang-orang lebih
mementingkan foya-foya dan menghambur-hamburkan uang. Ya, inilah kehidupan
sudah mendekati akhir zaman. Apa lagi kita sering menemui berita hoax dan isu-isi politik yang membuat
runtuhnya nilai kebersamaan dan kesatuan . Yang kadang toleran mendengar isu
tersebut menjadi suatu hal yang aneh. Dari sisi agama sendiri begitu banyak
aliran sekte-sekte, pemahaman radikal, teroris, kekarasan pada anak. Bagaimana
cara mengatasi hal tersebut dan untu meredakannya? Bagaimana kelak anak cucu
kita melihat keadaan seperti ini? Kalau hanya sekolah formal kita hanya di
ajarkan aplikasi pemahaman suatu ilmu dan angka-angka dalam rumus matematika.
Juga terkadang masih banyak siswa-siswi sekolah yang seenaknya sendiri pada
gurunya. Makna ngaji tak lebih jauh dengan praktik ibadah-ibadah yang lain
seperti (sholat, puasa, dan sebagainya) maka haruslah diprioritaskan karena
mencari ilmu itu fardhu a’in hukumnya. Pada sebuah riwayat dikatakan : Pencari ilmu itu kekasih Allah .
Disinilah
pentingnya kita mengingat ilmu, sebab tanpa ilmu kita akan terombang-ambing
dalam kegalauan dan ketidaknyamanan dalam menempuh kehidupan. Ada pesan dari
seorang sufi dari Banten yaitu Abuya dimyathi beliau ulama sekaligus sufi tanah
jawa yang sudah diakui tingkat keilmuanya yang tinggi oleh masyarakat dan
nusantara. Belaiu berpesan dalam proses mencari ilmu itu harus dilakukan secara
terus menerus. Pernah dalam suatu hari Abuya Dimyathi berpesan kepada putranya.
“Jangan ngaji di tinggalkan”,
meskipun jarak antara majelis dan jalan raya sangat jauh, atau di luar sana
berkkecamuk perang yang dahsyat.” Begitulah pentingnya ngaji dalam dunia
pesantren. Ada lagi pesan Abuya Dimyathi yang harus kita ingat dan kita lakukan
“Biarkan dunia runtuh 1000 kali,
pengajian di majelis jalan terus...” ketika teropong dengan mata hati yang
ikhlas, kita akan menemukan kenikmatan mencari ilmu dan berperan aktif dalam
kegiatan dan apa saja tingkat keilmuan itu sendiri. Dalam prespektif pelajar
pada khusunya ngaji itu adalah sarana untuk membasmi kebodohan, dan ngaji upaya
menyelamatkan kita dari jalan kegagalan. Maka sebab itulah seorang santri,
pelajar, mahasiswa di minta untuk selalu meraih keistimewaan dan kemulyaan ilmu
tersebut. Ilmu itu penyelamat, tanpa mahkota ilmu kita hidup tapi raga kita
mati sia-sia. Lewat dengan ngaji-atau nyantri seseorang akan mendapat maqam habib (derajat kekasih) kemudian
alngkah baiknya kita haruslah menjaga diri dari penyakit hati yang dapat
memperkeruh amal ibadah. Selalu menjaga kesucian diri untuk beribadah kepada
Allah SWT.
(Semarang, 19
Juli 2017 Muhamad Arifin)
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Semarang Jurusan Ilmu Komunikasi yang sekarang tinggal atau nyantri di Masjid Agung USM
Komentar
Posting Komentar