MEMAKNAI LEBARAN YA LIBURAN





MEMAKNAI LEBARAN YA, LIBURAN 

Lebaran telah meninggalkan namun momen semacam itu menjadi sebuah pertanyaan karena permasalahan kecil dalam melihat pergerseran makna sebut saja budaya silaturahmi yang dulu di ajarkan oleh nenek moyang kita sehingga kultur itu seakan di acuhkan oleh segolongan orang momen yang tepat di gunakan untuk saling memaafkan. Namun, dari pemaparan diatas telah hilang oleh generasi yang mungkin belum sempat atau menghilangkan tradisi. Ketika orang-orang secara ekonomi tinggi lebih mementingkan kesempatan lebaran untuk liburan bareng keluarga. 

Ya, ada benarnya ketika membahas masalah itu. Namun akan menjadi lebih rnyah ketika kitaupayakan jarak dan keinginan utuk bertemu dengan saudara membahas apa saja dan perkembangan apakah dalam keluarga. Lantas apa yang akan kita sumbangkan dari pemaknaan lebaran itu sendiri. Padahal gaya modern sedikit demi sedikit menghapus pola fikir masyarakat saaat ini. Banyak orang dalam hal ekonomi rendah juga fasilitas yang kurang memadai bias meleuangkan sedikit waktunya untuk bertatap muka pada sanak keluarga. Dari pemaknaan di atas perlulah sebuah pendekatan dalam hal ini mengajarkan pada kelurga kecil contohnya anak di didik untuk selalu menerapkan  pola berfikir secara global jika sudah tinggal bagaimana orang tua mengawasi anak-anaknya. 

Sebagai kalangan menegah ke bawah sudah pastinya hidup secara produktif, interaktif dalam mengaplikasikan kehidupan sehari-sehari ada yang ke sawah, kerja bangunan, kerja kantoran. Ya, meskipun seperti itu patutlah jadi media untuk memberikan pemaparan atas apa dan di dapat dalam keseharian bekerja untuk suatu suatu misi dan cita-cita dalam hidup berkeluarga tak lepas dari keinginan sebuah hal yang di maksud dalam lingkaran kekeluargaan 

Inilah sebuah awal bagaimana cara kita untuk membentuak suatu kesepakatan untuk menularkan dan mensepakati istilah ‘Lebaran’ akankah kita masih mengikuti tren? Atau kita bias mewujudkan sejarah nenek moyang yang senantiasa meluangkan sisa libura mendatangi saudara familinya, meskipun oran desa kurangnya fasilitas bagi keluarganya namun dalam hal tersebut bukan menjadi kendala malah menjadi sebuah I’tikad yang harus di tiru dan di lestarikan. 

Semoga dalam keadaan apapun kita masih saja bisa menilik perkembangan era modern namun kita tak melepaskan tradisi, sejarah karena hal terus harus mengakar dan menjadi hal yang di prioritaskan oleh masyarakat. Demi menjaga dan memberi peran kalua bukan kita siapa lagi? Mari sejenak merenung, dunia semakin lama semakin hilang dalam lingkar kebenaran, mari kita berjaga-jaga kebudayan semacam ini haruslah di uri-uri supaya masih bisa terwujud dalam lebaran-lebaran berikutnya

Salamm dan salam sejahtera untuk kita semua.

Semarang, 17 Juli 2017, Muhamad Arifin

Komentar

Postingan Populer